BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Filsafat itu menyelidiki ,membahas, serta
memikirkan seluruh alam kenyataan dan menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan
satu sama lain jadi ia memandang satu kesatuan yang belum di pecah-pecah serta
pembahasan secara keseluruhan, sedangkan ilmu lain itu hanya menyelidiki
sebagian saja dari alam maujud ini.
Ketika mempelajari filsafat islam kita juga
akan mempelajari beberapa tokoh filosof muslim beserta pemikiranya.
Dalam makalah ini kita akan membahas salah satu
dari filosof muslim yakni Al- Farabi beserta karya-karyanya dan cara
berfilsafatnya.
B. Rumusan
Masalah
a. Bagaimana
biografi al- farabi ?
b. Apasaja
peran Al- Farobi dalam filsafat ?
c. Bagaimana
pemikiran Al-farobi ?
C. Tujuan
Penulisan
a. Untuk
mengetahui biografi al- farabi
b. Untuk peran al-
farabi dalam filsafat
c. Untuk
mengetahui pemikiran al- farabi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat AL- Farabi
Mengenal sosok atau biografi kehidupan seorang tokoh adalah
hal yang sangat penting sebelum mengkaji buah pemikiran seorang tokoh. Sehingga
sudah barang tentu kita harus mengenal siapa sosok Ibnu Farabi, meskipun hanya
sepintas atau sedikit. Berikut biografi singkat beliau.
Nama lengkap beliau adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad
ibn Tarkhn ibn Auzalagh. Dikalangan orang latin abad tengah ia lebih dikenal
dengan Abu Nashr (Abunaser). Ia dilahirkan di Wasij, distrik farab sekarang
lebih dikenal dengan kota Atrar, di daerah Turkistan pada 257 H/870 M.
ibunya berkebangsaan Turki, sementara Ayahnya seorang jendral
berkebangsaan Persia.[1]
Sejak kecil ia telah meninggalkan kota kelahirannya. Ia mengembara ke berbagai
Negara hingga akhirnya tibalah ia ke kota Baghdat, pusat peradaban saat itu di
sana ia memperdalam Filsafat selama dua puluh tahun Ia pernah mengajar dan
mengulas beberapa buku-buku filsafat yunani, diantara anak muridnya yang
terkenal adalah Yahya Ibn ‘Adi, seorang filosuf kristen.
Karena kepintaran dan kepakarannya dibidang Filsafat, ia
diangkat menjadi seorang ulama istana pada saat pemerintahan Saif al-Daulah
al-Hamdani sebuah dinasti Hamdan di Aleppo kota Damaskus. Dengan demikian ia
mendapatkan tunjangan yang lumayan besar, namun ia lebih memilih hidup
sederhana dengan empat dirham untuk memenuhi hidupnya dalam 1 hari, dan
selebihnya ia sedekahkan kepada para fakir miskin di daerah Aleppo dan
Damaskus, bahkan diriwayatkan ia sering kelihatan pada waktu malam sedang
membaca dan mengarang dibawah sinar lampu penjaga malam.[2]
Hampir 10 tahun ia hanya berpindah-pindah dari dua kota itu,
yang pada akhirnya hubungan dua kota itu semakin memburuk, alhasil membuat
sultan Saif ad-Daulah menyerbu kota Damaskus dan berhasil menaklukkanya,
sementara Al-Farabi diikut sertakan dalam penyerbuan itu. Sampai akhirnya ia
menutup mata selama-lamanya di kota itu dalam usia 80 tahun.
B.
Peran Al-Farabi Dalam Filsafat
Al-Farabi merupakan Filusuf yang pertama yang berhasil
memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh seperti di dalam kitab
karangannya yang berjudul Ihsha’u al-‘Ulum” yang memandang Filsafat secara utuh
dan sempurna serta membahasnya secara mendetail[3]
ia juga sangat terkenal akan kepakarannya dalam hal filsafat Aristoteles
sehingga ia dikenal dengan sebutan Mu’allim Tsani (Guru kedua).[4]
Selain itu lewat usahanya pula perdebatan antara Filsafat
Plato dan Aristoteles akhirnya berakhir. Ia berhasil menyatukan kedua filsafat
tersebut lewat karyanya “Al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimain Alfathun wa
Aristhu” yang sering menjadi rujukan para filosuf sesudahnya seperti Ibnu
Rusdy dan Ibnu Sina[5] Dalam karyanya ini ia berhasil memadukan
pemikiran kedua Filsafat ini yakni Plato dan Aristoteles.dalam temuannya ini
dikenal dengan istilah “Pemaduan Falsafah” (al-falsafah at-Taufiqiyyah) salah
satu contohnya adalah teori simbol dan gaya bahasa.[6]
Dalam memahami pemikiran Plato dalam setiap karangannya maka akan menemukan
kesulitan dalam memahaminya karena Plato lebih banyak menggunakan gayabahasa
yang sulit serta kiasan-kiasan yang sulit dimengerti. Hal ini terkadang membuat
penafsiran yang berbeda mengenai pemikirannya. Gaya bahasa serta kiasan-kiasan
yang dibuat Plato dalam setiap karangannya karena menurutnya Filsafat hanya
bisa dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Hal ini sungguh berbeda sekali
dengan Aristoteles yang menggunakan gaya bahasa yang sistematis dan mudah
difahami. Namun dalam beberapa hal terdapat juga pembahasan yang sulit dipahami
seperti dalam hal akhlaq, ilmu fisika dan metafisika. Karena memang Aristoteles
memang membatasi hal ini hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dan Ibnu Farabi
menetapkan bahwa hakekatnya kedua Filosuf ini (Platod dan Aristoteles)
membatasi Filsafat hanya untuk orang-orang tertentu saja. Tidak untuk semua
orang.[7]
Alfarabi berkesimpulaan bahwa Aristoteles dan Plato memiliki
tujuan yang sama yakni mencari sebuah kebenaran, keduanya bertemu dan berjalan
seiringan, Alfarabi menamakannya Neo Plato (Neo Platonisme). Keduanya berjalan
seiringan hingga akhirnya tiba di dalam Islam, yakni keyakinan Islam.[8]
C.
Pemikiran Ibnu Farabi Dalam Filsafat
Dalam membahas pemikiran Ibnu Farabi
ini kami membagi pemikirannya menjadi beberapa segi diantaranya, metafisika,
akhlaq, jiwa dan lain sebagainya.
1.
Metafisika
Pembahasan mengenai Metafisika ini
al-Farabi memulai bahasan mengenai masalah wujud Allah. Al-Farabi mengemukakan
dalil dalam falsafah yang dikenal dengan dalil (Ontologi) : Dalil yang berpijak
pada konsep wajib dan Mungkin.[9]
Menurut Al-Farabi wujud ada dua macam :
a) Mumkin Wujud,
adanya wujud yang nyata karena ada yang lainnya. Seperti wujud cahaya yang
tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari.
b) Wajibul Wujud
Lidzatihi, adanya wujud yang nyata dengan terjadi dengan sendirinya. Wujud ini
adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Ia adalah sebab
yang pertama bagi semua wujud.[10]
Kata
al-Farabi untuk mengetahui Tuhan dapat dibuktikan dengan adanya bukti dari
teori gerak. Semua yang terdapat dialam semesta selalu bergerak yang pada
gilirannya bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu adanya sesuatu yang
tidak bergerak tetapi bertindak sebagai penggerak.[11]
Kemudian pada masalah lainya seperti
zat Tuhan, Bagi Al-Farabi tuhan adalah aql murni, Ia esa adanya dan yang
menjadi objek pemikirannya hanya substansi-Nya. Jadi tuhan adalah ’aql, ‘aqil,
dan ma’qul (akal, substansi yang berfikir dan substansi yang difikirkan).[12]
Tuhan yang digambarkan oleh
Al-Farabi adalah tuhan yang jauh dari makhluq-Nya, dan ia tidak dicapai kecuali
dengan jalan renungan dan amalan serta pengalaman-pengalaman tasawuf.[13]
Kemudian mengenai penciptaan alam
semesta, Al-Farabi yang ingin mengselaraskan filsafat Yunani dengan Islam
sehingga cendrung menggunakan teori Emanasi yang diusung Platonisme[14],
menurutnya tuhan menciptakan sesuatu dengan bahan yang sudah ada secara
pancaran.[15]
Pancaran (emanasi) alam dari tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas tuhan
memikirkan (berta’aqul terhadap) diri-Nya. Aktivitas memikirkan itu menjadi
sebab bagi pemancaran segenap alam ciptaan-Nya. Seperti pemancaran sinar dari
matahari.[16]
Perbedaan teori Emanasi yang dianut Platonisme Yunani dengan Emanasi Al-Farabi
terletak pada asal dari pancaran tersebut. Menurut filsafat Platonisme bahwa
asal pancaran itu bukanlah tuhan, akan tetapi bagi filsafat yunani tuhan bukan
pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (Prima Causa). Sementara
Al-Farabi menyatakan bahwa asal dari pancaran tersebut adalah Tuhan (pencipta),
1.
Jiwa
Filsafat Plato , Aristoteles serta
Plotinus, mempengaruhi Al-Farabi tentang jiwa. Jiwa menurut Al-Farabi bersifat
Rohani, ia terwujud setelah adanya badan, dan ia tidak bisa berpindah-pindah
dari badan kebadan yang lain.
Jiwa manusia disebut al-nafs
al-nathiqah, ia berasal dari alam Ilahi sementara jasad berasal dari alam
khalq, berbentuk,berupa, berkadar dan bergerak. Dalam jiwa manusia mempunyai daya
gerak (makan, memelihara, berkembang), daya mengetahui (merasa, imaginasi),
daya berfikir (akal praktis, akal teoritis) sementara daya teoritis (akal
potensial, akal aktual, akal mustafad) Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi
membagi antara Jiwa Khalidah dan Jiwa Fana. Jiwa khalidah adalah jiwa yang
mendapatkan kebahagiaan, karena ia bisa melepaskan diri dari kenikmatan
jasmani, ia tidak hancur karena hancurnya jasad. Yang termasuk kelompok ini
adalah akal mustafad. Sementara jiwa fana tidak sempurna, ia akan hancur
seiring hancurnya jasad. Ia akan kekal, tapi dalam kesengsaraan.
2.
Politik
Dalam pemikiran politiknya,
Al-Farabi banyak terpengaruh pemikiran Platonisme disamping ia selaraskan
dengan Islam.
Dalam pembahasannya mengenai Negara,
Al-Farabi menyamakan Negara sama dengan Manusia, yakni seperti yang difahami
bahwa Manusia memiliki organ-organ tubuh yang saling bekerja dengan baik.[17]
Misalnya tangan dengan otak manusia,yang
tangan diperintah oleh otak, demikian pula terkadang otak juga diatur oleh Hati
yang memiliki perasaan yang mempertimbangkan baik atau buruknya. Menurutnya
bahwa yang paling terpenting dari Negara adalah pemimpinnya. Oleh karena itu
agar Negara menjadi baik dan maju hendaklah yang menjadi pemimpinnya adalah
paling unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya. Dan ia harus
memiliki kualitas-kualitas berupa kecerdasan, sehat jasmani, memiliki tutur
kata yang baik, cinta pada pengetahuan, cepat tanggap, cinta akan kejujuran,
kemurahan hati, kesederhanaan, membela keadilan, dan tidak rakus serta menjauhi
kelezatan-kelezatan jasmani.[18]
namun dalam pemikirannya selanjutnya, karena A-Farabi ingin menselaraskan
Filsafat Platonisme dengan Islam sehingga ia menambahkan sebuah syarat lagi
bagi seorang pemimpin yang ideal yaitu: akal-fa’al, pemikiran Al-Farabi yang
mulai memasuki alam khayalan dimana menurutnya sebuah Negara yang masyarakatnya
adalah orang-orang yang suci dan kepala Negara atau pemimpin negaranya adalah
seorang Nabi. Sehingga dari pemikiran ini dapatlah kita simpulakan bahwa
A-farabi lebih banyak berbicara dalam hal teori dari pada relistis pragmatis,
karena memang ia adalah seorang ahli fikir yang dalam.[19]
3.
Akhlaq
Dalam hal ini Al-Farabi menjelaskan
bahwa akhlaq itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan
tertinggi yang dirindui, maka wajar kalau masalah akhlaq adalah sesuatu yang
paling banyak ditulis oleh Al-Farabi dalam berbagai kitabnya.
Dalam kitab Risalah al-Tanbih ‘ala
subul al-Sa’adah dan Tahshil al-Sa’adah Al-Farabi menekankan ada empat jenis
sifat utama yang harus dimiliki oleh setiap orang, untuk mendapatkan
kebahagiaan didunia dan diakhirat.
(1) Keutamaan Teoritis, prinsip-prinsip
pengetahuan yang kita dapat sejak awal tanpa kita tahu cara dan asalnya.
Juga termasuk dengan kontemplasi, penelitian, juga melalui belajar mengajar.
(2) Keutamaan Pemikiran, adalah yang
memungkinkan orang mengetahui hal-hal bermanfaat dalam tujuan.
(3) Keutamaan Akhlaq, bertujuan
untuk mencari kebaikan, dan ini menjadi syarat keutamaan pemikiran.
(4) Keutamaan Amaliah, dapat diperoleh dengan
dua cara, pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang atau dengan cara
lain yaitu dengan pemaksaan.[20]
4.
Teori Kenabian
Karena pada masa Al-Farabi pemikiran
yang berkembang mengenai kenabian adalah menolak akan kenabian seperti
pemikiran Ahmad ibn ishaq al-Ruwandi dan Zakaria al-Razi, yang menolak
akan eksistensi Kenabian,[21]
Maka Al-Farabi yang memiliki
pemikiran yang berbeda yakni menerima eksistensi kenabian membuat Al-Farabi
mencoba melawan pemikiran tersebut. Meskipun Al-Farabi dikenal sebagai seorang
yang rasionalis namun hal itu bukan berarti ia menolak eksistensi wahyu Tuhan
dan Kenabian.[22]
Menurutnya Adanya Nabi dan Rasul
yang diutus kedunia, bahwa pada umat manusia, akal dan potensi jiwa mereka
terdapat perbedaan keunggulan dalam aktualitas dalam menangkap informasi secara
utuh dan lengkap. Seperti kenyataan bahwa ada orang yang unggul dari orang
lain. Dengan demikian tidak mustahil bahwa ada orang yang hatinya mampu
menerima wahyu, sementara orang lain tidak sanggup.[23]
kemudian menurut Al-Farabi ciri khas
seorang nabi adalah bahwa seorang Nabi mempunyai daya imaginasi yang kuat,
dimana obyek indrawi diluar tidak dapat mempengaruhinya. Jadi manakala ia
menerima visi kebenaran atau wahyu dari tuhan melalui aql fa’al ia mampu
berkomunikasi dengan baik. Al-Farabi kembali menambahkan bahwa kemampuan
seorang Nabi berhubungan dengan malaikat Jibril tanpa diawali latihan,
karena Allah telah menganugerahinya dengan kekuatan suci (Qudsiyah). Sementara
filsuf dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal Mustafad (perolehan) yang
sudah terlatih dan kuat daya tangkapnya, sehingga dapat menerima hal-hal
yang bersifat abstrak murni dari akal. Dengan demikian antara nabi dan filsuf
tidak sejajar tingkatannya, karena setiap nabi adalah filsuf sementara tidak
semua filsuf itu nabi.[24]
Karena adanya unsur pilihan. Kembali menurut Al-Farabi bahwa karena nabi dan
filsuf sama-sama dapat berhubungan dengan Akal, maka antara wahyu dan filsafat
tidak terdapat pertentangan.[25]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Demikianlah pembahasan mengenai Ibnu
Farabi atau Al-Farabi dalam setiap tokoh sudah menjadi hal yang lumrah bahwa
manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Terkadang bertindak atau berperilaku
benar dan juga salah. Dalam berfikir juga demikian salah dan benar memang tidak
aneh lagi jika menimpa seseorang. Karena manusia memang tidak terlepas dari
salah dan lupa. Apalagi dalam masalah filsafat. Lebih tidak aneh lagi kalau
seorang Filosuf berfikir salah, atau nyeleneh. Untuk itu dalam pemikiran Ibnu
Farabi ini tentunya berlaku hukum tersebut yaitu ada yang salah dan ada pula
yang benar. maka alangkah indahnya apa yang dikatakan Syeikh Bin Baz ketika
ditanya bagaimana pandangan beliau terhadap Dr. Sayyid Qutb, maka Syeikh
Bin Baz menjawab dengan kata-kata beliau yang indah; “Setiap manusia tidak akan
terlepas dari benar dan salah. Maka yang benar dari beliau (Sayyid Qutb) maka
ambilah, jika itu salah maka tinggalkanlah”.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Aceh, Abu Bakar, “Sejarah Filsafat
Islam”, Sala: CV. Ramadhani, Cet. II, 1982.
Ø Dahlan, Abdul Aziz Pemikiran
Filsafat dalam Islam, Padang: IAIN IB PRESS, 2000,
Ø Drajat, Amroeni “Filsafat Islam Buat
Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006
Ø Hanafi, Ahmad, “Pengantar Filsafat
Islam,” Bulan Bintang, Jakarta: cet.VI , 1996
Ø Jamia’ah Arraniry,Proyek pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Iain ,“Filsafat Islam”
Ø Nasution, Hasyimsyah, “Filsafat
Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. III, 2002.
Ø Nasution,Harun, “Falsafat Dan
Mistisisme Dalam Islam”, Jakarta: Pt Bulan Bintang, Cet. X, 1999
[1] . Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002, Cet. III, Hal. 32
[2] . Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain Jamia’ah
Arraniry, “Filsafat Islam” ,Hal. 35
[4] . Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1996, Cet. VI, Hal. 82
[5] . Hasyimsyah Nasution. “Op. Cit”., Hal. 33
[6] . Iain Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”., Hal. 42
[7] . “Ibid”., Hal. 42-43
[8] . Abu Bakar Aceh, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV.
Ramadhani, 1982. Cet 2. Hal 51
[9] . Iain Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”.,Hal. 45S
[10] .
Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal.90
[11] .
Amroeni Drajat, “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”,
Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006, Hal. 32
[12] .
Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 36
[13] .
Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal. 91
[14] .
Ia Mengambil Teori Plotinus Yang Mengatakan Bahwa ‘’Dari
Yang Satu (Tuhan) Hanya Satu Saja Yang Melimpah’’. Berdasarkan Itu Maka
Masalahnya Adalah Alam Ini Dijadikan Secara Tidak Langsung, Karena Sukar
Difahami Jika Alam Yang Beraneka Ini Dijadikan Langsung Karena Dapat Menyentuh
Keesaan Tuhan. Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”., Hal. 52
[16] .
Abdul Aziz Dahlan, “Pemikiran Filsafat Dalam Islam”, Padang:
Iain Ib Press, 2000, Cet. II, Hal. 65S
[17] .
Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam,
Jakarta: Pt. Bulan Bintang, 1999, Cet X, Hal. 26
[18] .
Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 41
[19] .
Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal. 97. Lihat Pula H.M.
Rasyidi Dkk, “Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat,” Jakarta: Pt.Bulan Bintang.,
1988, Cet. I, Hal. 120
[20] .
Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 43
[21] .
“Ibid”., Hal. 44
[22] .
Abdul Aziz Dahlan, “Op. Cit”., Hal. 73
[23] .
“Ibid”., Hal. 74
[24] .
Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 44
[25] .
“Ibid”., Hal. 44